Manusia terdiri dari dua unsur
pokok, yaitu jasad dan ruh. Dua unsur ini memiliki kecenderungan berbeda. Jasad
bersifat kasar, rendah dan hina. Ia cenderung kepada pemenuhan
keinginan-keinginan (nafsu). Ia membutuhkan makan, minum, pelampiasan syahwat,
keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran. Sedangkan ruh bersifat
halus dan lembut, ia cenderung kepada hal-hal yang mulia. Ruh adalah unsur pertama dari manusia
yang mengenal Allah Tuhannya dengan sebenar-benarnya pengenalan (Ma’rifat).
Ketika ruh-ruh manusia selesai diciptakan, Allah SWT telah mengambil kesaksian dari mereka
dengan firman-Nya: اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ؟ قَالُوْا بَلَ شَهِدْنَا
(Apakah aku ini tuhan kalian?
Ruh-ruh menjawab: ‘Betul, kami bersaksi’). Inilah ikrar atau janji yang diucapkan manusia ketika di
alam ruh yaitu bertauhid mengesakan Allah SWT.
Berjuta-juta tahun lamanya ruh-ruh itu bertasbih dan bertahmid
memuji Allah SWT, hingga sampai waktunya ia dimasukkan ke dalam jasad calon bayi
berumur 120 hari (4 bulan) di dalam kandungan, Ruh berinteraksi dengan jasad, sehingga
telinga calon bayi sudah mulai mendengar perkataan-perkataan orang yang berada
di luar, ia mendengar apa yang sering diucapkan ibunya, atau ayahnya yang
membisikkan sesuatu diperut sang ibu.
Ketika dilahirkan ke dunia inilah awal ujian bagi
manusia. Ujian itu ialah, apakah ia dapat mempertahankan ikrar yang telah
diucapkannya ketika di alam ruh, yaitu mengesakan Allah SWT, hanya menyembah
kepada-Nya. Rasulullah saw bersabda : “Kullu mauluudin yuuladu ‘alal
fithrati fa abawaahu yuhawwidaanihi aw yunash-shiraanihi aw yumaj-jisanihi”
(Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan bertauhid, maka orangtuannya yang
menjadikannya Yahudi atau Nashrani atau Majusi) HR. Bukhari.
Dari hadis ini jelas dikatakan bahwa bayi yang baru
dilahirkan itu dalam keadaan bertauhid kepada Allah, namun rasulullah juga
mengingatkan kita bahwa tauhid itu bisa luntur bahkan hilang karena pengaruh
lingkungan keluarga dan masyarakat di mana dia tinggal. Sehingga manusia lupa
dengan janjinya karena terserang virus cinta dunia, menurutkan syahwat, dan mengikuti
bisikan setan.
Allah mengetahui bahwa manusia tidak akan sanggup
menghadapi ujian hidup di dunia. Oleh karena itu, Allah SWT mengutus para
rasulnya dan menurunkan kitab-kitab untuk mengajak dan membimbing manusia
kembali ke fitrahnya yaitu bertauhid mengesakan Allah;
Oleh karena itu, setiap nabi dan rasul yang diutus oleh
Allah selalu mempunyai misi utama yaitu mengajak manusia untuk mengesakan Allah
atau bertauhid. Awwaluddini
Ma’rifatullah (permulaan dari agama itu adalah mengenal allah).
Usaha
untuk menyegarkan kembali akan janji kita di alam ruh inilah yang harus kita
lalui dengan mendalami Ilmu Tauhid. Tauhid ialah mengesakan Allah secara mutlak
baik mengenai zat, sifat, maupun af’al (perbuatan) Allah. Tauhid adalah pangkal
iman. Dengan adanya iman akan baiklah semua amal dan dengan rusaknya iman akan
menjadi rusak pulalah semua amal.
Ilmu
Tauhid adalah ilmu yang paling mulia, karena satu-satunya ilmu yang dapat
menyelamatkan diri seseorang dari kemurkaan Allah atau melepaskan diri
seseorang dari azab yang kekal selama-lamanya di dalam neraka. “barangsiapa
yang akhir hayatnya mengucap la ilaha illallah, masuk surga”
Oleh
karena itu, mempelajari ilmu ini adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap orang
yang baligh dan berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan,
sekurang-kurangnya dengan dalil yang bersifat global, dan kalau dapat dengan
dalil yang bersifat rinci.
Orang
yang bertauhid berarti orang yang mempunyai pegangan yang teguh, yaitu berpegang
kepada Allah dan bersandar kepada-Nya, baik pada waktu sehat atau sakit, pada
waktu susah atau senang, pada waktu hidup dan menghadapi maut. Kekuatan tauhid
sanggup berhadapan dengan segala tantangan yang datang dari syahwat, nafsu,
setan dan dunia. Orang hidup yang tidak mempunyai pegangan tauhid, bagaikan
sebuah kapal yang tidak berkemudi, terapung-apung dan terombang-ambing di
tengah lautan mengikuti pukulan ombak dan badai, sebentar ke kanan sebentar ke
kiri, tidak tentu arahnya, yang akhirnya terbentur batu karang, lalu hancur dan
terbenam ke dasar laut. Na’udzubillahi min dzalik
Ketika
sang bayi dilahirkan ke dunia, menangis ia, karena ia sekarang berada di dalam
alam dunia yang rendah dan hina. Dan ini sesuai dengan sifat jasad yang rendah
dan hina. Menjaga kefitrahan (tauhid) di dunia tidaklah mudah, karena jalan menuju surga penuh dengan duri dan rintangan, sedangkan jalan menuju neraka penuh dengan kesenangan dan kenikmatan. Sebagaimana sabda Nabi saw:
اَلدُّنْيَا سِجْنٌ لِلْمُؤْمِنِ وَ جَنَّةٌ لِلْكَافِرِ (Dunia adalah penjara bagi orang
mu’min dan surga bagi orang kafir).
Oleh sebab itu, Para ‘Arif Billah
(orang yang benar pengenalannya kepada Allah) menegaskan bahwa hakikat
sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan.
Kebahagiaan jasadi atau jasmani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani.
Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud jasmani manusia. Sebagai
inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin
tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani
berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan,
jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu
menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya
dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat
dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan
melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah
cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan
pada dunia. Ia harus bersih.
Allah SWT berfirman : “Wama
kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun” (dan tidak aku ciptakan jin dan
manusia kecuali agar mereka menyembahku). Dari ayat ini jelaslah bahwa
kehadiran manusia di dunia ini hanya mempunyai satu tujuan yaitu untuk
beribadah atau menyembah Allah SWT. Oleh karena itu, segala aktivitas kegiatan
manusia di dunia ini harus bernilai ibadah (diniatkan ibadah). Maka jangan
sampai keluar dari tujuan ini, atau mempunyai tujuan yang bercabang selain
daripada ibadah kepada Allah SWT. Seorang pekerja ketika ia ingin bekerja harus
diniatkan ibadah, bahkan orang yang ingin tidurpun harus meniatkan tidurnya itu
ibadah.
Ibadah yang kita laksanakan tersebut haruslah sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya. Bagaimana cara melaksanakan ibadah yang benar, dan harus diketahui pula jenis-jenis hukum seperti wajib, sunat, mubah, makruh, haram, halal, sah dan batal dalam ibadah. Untuk mengetahui itu semua, sangat diperlukan suatu disiplin ilmu yang bernama ilmu fikih.
Namun demikian, meskipun ibadah yang kita laksanakan sudah sesuai dengan ilmu fikih, mungkin saja ibadah yang kita lakukan
itu tidak bernilai (berharga) di sisi Allah. Ibadah tersebut tidak bernilai di
antara disebabkan karena orang yang beribadah tersebut terserang suatu penyakit
yang dinamakan “Syirik Khofi” (Syirik yang tersembunyi) dikatakan tersembunyi
karena ia terletak di dalam hati, yang tidak dapat diketahui oleh panca indra,
sehingga yang mengetahui hal itu hanya Allah SWT dan orang tersebut.
Di antara hal-hal yang tergolong ke
dalam syirik khofi ini adalah:
1. Riya
dan sum’ah, ialah sikap hati seseorang yang ingin agar orang lain memperhatikan
amal ibadahnya dan memujinya karena amal ibadah yang dilakukannya. Sehingga dari sikap hati yang demikian,
nyatalah bahwa ada suatu tujuan yang lain daripada Allah SWT.
2. Ujub,
ialah sikap hati seseorang yang merasa bangga (hebat) terhadap dirinya sendiri
karena bagus dan banyak amal ibadahnya. Perasaan tersebut muncul karena ia
merasa bahwa ia ibadah yang dilakukannya itu adalah karena kemampuannya
sendiri.
3. Takabur
atau sombong, ialah sikap seseorang yang merasa bahwa dirinya lebih mulia, dan
lebih segalanya dari orang lain.
Agar seseorang
terhindar dari Amrotul Qulub
(penyakit-penyakit hati) ini, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mempelajari suatu disiplin ilmu
yang bernama ilmu tasauf. Ilmu Tasauf adalah suatu disiplin ilmu yang
mempelajari bagaimana kita membersihkan hati dari sifat-sifat tercela
(mazmumah) atau disebut dengan takhalli, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat
terpuji (mahmudah) yang disebut tahalli, dengan hati yang bersih karena berisi
sifat-sifat mahmudah, maka akan sampai pada suatu tingkatan yang disebut
tajalli. Tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi
hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan
keagungan-Nya. Istilah lain yang memiliki kedekatan arti dengan tajalli adalah
ma’rifah, mukasyafah, dan musyahadah. Semua itu menunjuk pada keadaan di mana
terbuka tabir (kasyful-hijab) yang menghalangi hamba dengan Allah SWT.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Bagikan ke WhatsApp
0 Response to "Ibadah Sebagai Tupoksi Hidup"
Post a Comment